Akhir tahun 2022 lalu saya berencana datang ke Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Saya bahkan telah menyiapkan daftar film yang akan saya tonton; salah satunya adalah film Balada Si Roy (2022). Tetapi karena satu dan lain hal, saya tidak jadi datang dalam festival film itu. Saya juga tidak berkesempatan untuk menonton film Balada Si Roy di bioskop. Beruntung, bioskop bukan lagi satu-satunya medium untuk dapat menikmati film, layanan streaming seperti Netflix, Disney+, Apple TV+, Amazon Prime Video, dan banyak lagi memberikan akses ke ratusan ribu film yang dapat ditonton langsung dari tempat tidur di rumah yang nyaman.

Itulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya dapat menonton Balada Si Roy di Amazon Prime Video (terima kasih Jeff Bezos). Balada Si Roy berkisah tentang seorang remaja bernama Roy yang sedang mencari jati diri. Ia tinggal berdua dengan ibunya di Bandung sebelum pindah ke Serang, kota kelahiran ibu Roy setelah ayah Roy meninggal.

Di kota inilah, perjalanan pencarian jati diri Roy sebagai remaja puber dimulai. Sebuah pencarian jati diri yang dipenuhi dengan romansa dan kekerasan. Dalam satu adegan di mana Roy tiba di sekolah sebagai siswa baru, Roy sukses mencuri perhatian seluruh siswa di sekolah barunya itu. Baju seragam yang tidak dimasukkan, dua kancing kerah atas yang dilepas, dan rambut gondrong; dengan penampilan mencolok seperti itu, tidak mengherankan jika Roy menjadi magnet di sekolah itu. Oh, jangan lupakan anjing kesayangan Roy yang ikut dia bawa bersekolah, Joe. Selain itu, Roy juga pintar dalam berbicara dan merangkai kata menjadi sebuah tulisan.  Berbekal segala kelebihannya itu, dalam waktu singkat Roy sukses mencuri perhatian tidak hanya satu, tetapi tiga siswi di sekolah itu; Ani, Wiwik, dan Dewi.

Namun, kedatangan Roy di sekolah itu tampaknya menjadi ancaman bagi Dullah dan gengnya. Dullah adalah sosok yang ditakuti, tak hanya di sekolah Roy, tetapi juga di penjuru Serang, semua berkat ayahnya yang memiliki jabatan tinggi di daerah tersebut. Di awal film, Dullah tampak tidak terlalu ambil pusing dengan kehadiran Roy sebagai murid baru yang mencolok. Semua berubah saat Roy bertemu dengan perempuan bernama Ani dan hubungan mereka semakin dekat. Ternyata bukan Roy saja yang memiliki ketertarikan pada Ani, tetapi juga Dullah. Seketika itu pula, Dullah tidak lagi mengabaikan kehadiran Roy, tetapi melihatnya sebagai sebuah ancaman yang harus segera disingkirkan.

Konflik antara Roy dan Dullah mencapai puncaknya saat Roy yang sedang menikmati pemandangan pantai berdua dengan Ani diganggu oleh kehadiran Dullah dan gengnya. Di sini, mereka terlibat perkelahian sengit. Ani mencoba melerai tetapi tidak digubris sama sekali. Saat dua kaki tangan Dullah menghajar Roy, Dullah menghajar dan menyiksa Joe, anjing kesayangan Roy hingga tewas. Kejadian itu terjadi dengan cepat dan tidak ada yang bisa menghentingkan. Roy yang menyadari anjing yang telah menemaninya sejak kecil tewas seketika hancur. Ani hanya bisa memandang Roy yang sedang menangis sambil memeluk jasad Joe, tampak rasa bersalah dan sedih dari raut wajahnya.

Semenjak kejadian itu, hubungan Roy dan Ani merenggang. Saat Roy mencoba menghindar dari Ani, muncul siswi baru bernama Dewi. Siswi pindahan yang memiliki penampilan tomboy itu sukses mencuri perhatian Roy. Upaya pendekatan Roy awalnya tidak membuahkan hasil, tapi perlahan hubungan keduanya semakin dekat. Kedekatannya keduanya tidak luput dari perhatian Ani dan Wiwik yang sama-sama jatuh cinta dengan Roy. Namun, hubungan Roy dan Dewi tidak lama karena Dewi harus pindah lagi dari sekolah Roy karena ibu Dewi dimutasi oleh kantor.

Upaya gagal membangun plot twist

Setelah Dewi pindah dari sekolah Roy, hubungannya dengan Ani belum kunjung membaik. Sebaliknya, Wiwik memanfaatkan kesempatan ini dengan lebih gencar mendekati Roy. Sedangkan Roy yang sejak awal tidak tertarik dengan Wiwik menolak mentah-mentah pernyataan cinta dari Wiwik, yang entah kenapa tampaknya membuat Wiwik sakit hati. Di rumah, Wiwik menangis sesenggukan. Setelah mendengar cerita Wiwik, kakaknya yang tidak terima adiknya dibuat menangis oleh Roy mengirimkan santet kepada Roy.

Roy, di bawah pengaruh santet kiriman kakak Wiwik mengalami gangguan-gangguan supranatural. Gangguan-gangguan itu tidak hanya terjadi di rumah, melainkan di sekolah. Ibu Roy yang menyadari bahwa kondisi anaknya semakin memburuk akhirnya meminta bantuan sahabat sekaligus tetangganya yang kemudian membawa Roy ke seorang dukun. Setelah pengaruh santet terlepas dari tubuhnya, Roy kemudian meminta maaf kepada Wiwik, sesuatu yang menurut saya sebenarnya tidak perlu.

Saya ingin menyangkalnya, tetapi nyatanya adegan itu memang benar-benar ada di film Balada Si Roy. Saya rasa bumbu-bumbu horror klenik itu bermaksud sebagai plot twist  sekaligus menegaskan bahwa mistisisme dan klenik merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia. Sayangnya, upaya ini saya rasa gagal dan malah terasa aneh bagi saya. Tidak hanya sihir atau santet tidak lagi relevan di Indonesia saat ini, penggambaran santet dalam media yang sepenuhnya dibingkai lewat sudut pandang supernatural bisa melanggengkan kepercayaan akan fenomena santet, yang pada akhirnya membuat mereka yang dipercaya menjadi korban santet memilih pergi ke dukun alih-alih ke dokter.

Maskulinitas dalam Balada Si Roy

Laki-laki itu harus pergi, tapi juga harus pulang.

Itulah kira-kira kalimat yang ditinggalkan oleh almarhum ayah Roy. Saat saya pertama kali membaca kalimat tersebut, hal yang pertama kali terlintas di benak saya adalah bahwa laki-laki memiliki tanggungjawab. Tidak ada yang salah dengan itu, karena memang laki-laki tentu memiliki tanggungjawab, tapi bukankah semua manusia di muka bumi ini memikul tanggungjawab masing-masing terlepas dari jenis kelamin atau gendernya? Memang, perihal tanggungjawab ini sangat erat kaitannya dengan peran gender, yang menentukan peran dan tanggungjawab bagi laki-laki dan perempuan. Misalnya, dalam konteks keluarga, laki-laki bertanggungjawab mencari nafkah dan perempuan biasanya bertanggungjawab mengasuh dan mendidik anak. Peran gender ini tentunya tidak saklek dan bisa sangat fleksibel, walau sering kali justru sebaliknya yang terjadi.

Bahkan saat saya mencoba menjustifikasi kalimat itu, gelagat Roy yang ditunjukkan di sepanjang film sama sekali tidak mencerminkan petuah almarhum ayahnya itu. Satu-satunya adegan di mana Roy terlihat bertanggungjawab adalah saat dia meminta maaf kepada Wiwik, sebuah tindakan permintaan maaf yang sebenarnya tidak perlu karena Roy tidak melakukan kesalahan kepada Wiwik; apakah menolak pernyataan cinta seseorang berarti kita melakukan kesalahan kepada orang itu? Bukankah perasaan itu tidak bisa dipaksakan?

Dalam satu adegan, Roy pergi ke klub malam dan mabuk-mabukan bersama dengan kedua temannya, padahal mereka belum cukup umur. Dalam adegan lain, setelah salah satu teman Roy meninggal dalam kecelakaan motor, Roy justru ikut-ikutan dalam balap liar menggunakan motor dari temannya yang telah meninggal hanya karena temannya yang telah meninggal itu juga sering ikut balapan liar. Entah apapun alasan Roy tiba-tiba ikut balapan liar, keputusan ini bagi saya sangat absurd dan tidak dapat dijustifikasi. Apakah tidak ada hobi lain yang lebih bermanfaat seperti sepak bola, basket, menulis (seperti ayah Roy)?

Masih banyak keputusan-keputusan gegabah dan tidak masuk akal yang dilakukan  Roy sepanjang film. Namun, hal yang paling membuat saya gerah adalah saat Roy dengan mudahnya menerima tantangan dari Dullah untuk balapan. Sebelumnya Roy sudah bertanding dalam pertarungan silat satu lawan satu dengan Dullah yang berakhir dengan kekalahan telak Dullah. Dengan kata lain, Roy sudah mengalahkan Dullah yang selama ini mengganggu Roy, lalu buat apa menerima tantangan Dullah untuk balapan?

Saya merasa keputusan-keputusan Roy yang seringkali menerabas risiko tidak lepas dari kultur maskulinitas hegemonik di lingkungan yang coba diinternalisasi oleh Roy sebagai remaja yang sedang mencari identitasnya. Cita-cita maskulinitas yang dianut oleh maskulinitas hegemonik menyarankan sejumlah karakteristik yang didorong untuk diinternalisasi ke dalam kode pribadi mereka sendiri dan yang membentuk dasar bagi pola perilaku maskulin. Karakteristik ini biasanya meliputi: kekerasan dan agresi, ketabahan, keberanian, ketangguhan, kekuatan fisik, atletis, keberanian mengambil risiko, petualangan dan pencarian sensasi.

Bingkai male gaze dalam Balada Si Roy

Di sini, cukup jelas bahwa keputusan dan tindakan yang diambil Roy sepanjang film menunjukkan bagaimana Balada Si Roy dibuat menggunakan sudut pandang laki-laki atau “male gaze”. Male gaze adalah konsep yang menggambarkan bagaimana film, iklan, acara TV, dan media visual lainnya dibuat dan dirancang dengan asumsi penontonnya adalah laki-laki heteroseksual, umumnya dengan menggambarkan perempuan dari sudut pandang laki-laki heteroseksual. Ini bisa dilihat dari bagaimana Roy mempermainkan perasaan Ani, juga bagaimana Ani justru diam saja melihat perubahan sikap Roy kepadanya dan bagaimana perempuan digambarkan sebagai makhluk yang menggoda, rapuh, dan emosional melalui karakter Wiwik.

Namun, male gaze tak hanya mengobjektifikasi perempuan, tetapi juga membangun idealisme maskulinitas tertentu yang diharapkan untuk diikuti oleh laki-laki. Sering kali dengan menggambarkan karakter laki-laki sebagai sosok yang kuat, tabah, dominan, heroik, suka kekerasan, dan senang mengambil risiko.

Penggambaran karakter Roy dalam film itu memang bukan semata-mata sesuatu yang salah. Jika melihat konteks latar film itu yaitu Indonesia tahun 1980an, dapat diasumsikan bahwa nilai-nilai maskulinitas hegemonik di masyarakat Indonesia saat itu masih sangat kental. Film ini juga bisa dibilang mengadopsi novel Balada Si Roy karya Gol A Gong secara mentah-mentah, sedangkan novel itu memang maskulin sejak awal.

Namun hal yang paling membuat saya kecewa adalah keputusan Fajar Nugros untuk mengadaptasi film ini secara mentah-mentah dari novel. Seandainya Fajar Nugros bisa mengambil karakter dan tema utama dari novel kemudian mengadaptasinya dengan mempertimbangkan relevansi zaman, mungkin saja Balada Si Roy akan jauh lebih baik dari ini.

Absurditas Balada Si Roy mencapai puncaknya di akhir film dengan keputusan Roy untuk minggat dari rumah. Tampaknya Roy salah mengartikan petuah ayahnya itu; pikirnya jadi laki-laki itu bisa minggat seenaknya selama masih ingat rumah untuk kembali. Padahal, maksud dari kalimat tersebut lebih menekankan soal tanggungjawab seorang laki-laki. Namun setidaknya, Roy berpamitan dengan ibunya sebelum minggat, bukan?