Beberapa bulan lalu, telepon pintar Nokia 5 yang telah menemani saya selama empat tahun memiliki masalah. Masalah utamanya sebenarnya cukup pelik, yaitu tombol nyala di perangkat mindlep atau sulit untuk ditekan. Saya kemudian bawa piranti genggam tersebut ke konter service terdekat. Tentu bukan pusat perbaikan resmi, alasannya pusat perbaikan resmi hanya ada di luar kota dan berjarak sekitar 40 menit mengendarai sepeda motor dengan catatan lalu lintas sedang tidak macet. Sehingga saya memilih mencoba konter service dengan harapan yang tidak muluk-muluk.
Selepas dicek oleh si tukang reparasi yang hanya memakan waktu tidak lebih dari lima menit, tukang service itu kemudian segera memvonis bahwa layarnya yang bermasalah. Terkejut? Tentu tidak. Saya mengiyakan saja, walaupun harus merelakan layar asli saya yang masih cukup bagus dan tidak ada masalah. Apa yang terjadi kemudian? Masalahnya tentu tidak selesai sampai di situ. Berhubung masalah sebenarnya ada di tombol daya yang mindlep itu, tak berselang lama, penyakitnya kambuh kembali. Berulang kali sampai saya memutuskan untuk membeli telepon pintar merk OPPO dengan model A16 yang kelak saya sesali.
Jujur saja, telepon pintar Nokia 5 itu memang sudah seharusnya diganti bahkan setahun sebelum saya membawa telepon pintar saya ke tukang reparasi. Saya membawa Nokia 5 saya ke tukang reparasi sekitar bulan September 2021. Namun, telepon pintar itu sudah tidak menerima pembaruan keamanan sistem operasi sejak tahun 2020. Dengan kata lain, HMD Global, produsen dan pemegang eksklusif lisensi merek dagang Nokia sudah memvonis mati Nokia 5 milik saya itu. Terlepas dari telepon pintar saya yang saat itu masih layak pakai dan performanya masih bagus untuk buka banyak tab di peramban Firefox. Pada akhirnya, itu tidak menutup fakta bahwa telepon pintar Nokia 5 saya itu sudah usang per 2020.
Tidak mendapat pembaharuan keamanan sistem operasi = mati
Setiap piranti digital, dari kamera digital, Smart TV, komputer meja (PC), laptop, termasuk juga telepon pintar atau smartphone. Pokoknya semua piranti digital yang memiliki sistem operasi—hampir pasti setiap piranti digital memiliki sistem operasi—pasti mendapat pembaharuan sistem operasi secara berkala. Baik itu pembaharuan besar maupun kecil. Salah satu jenis pembaharuan adalah pembaharuan keamanan. Pembaharuan keamanan tidak mengusung fitur-fitur baru, melainkan membawa tambalan keamanan serta perbaikan kekutu (bug)1 perangkat lunak. Dibandingkan dengan pembaharuan besar yang berisi segudang fitur-fitur baru, pembaharuan keamanan merupakan hal yang paling penting dan vital. Tanpa pembaharuan keamanan atau setelah pembaharuan keamanan berakhir, sistem operasi dan perangkat di mana sistem operasi tersebut terpasang seketika menjadi usang dan tidak layak pakai lagi.
Beberapa orang mungkin berpikir, kalau telepon pintar mereka kondisinya masih mulus, layar tidak retak, baterai masih bertahan untuk sehari, dan performanya masih ngebut untuk dipakai WhatsApp, Instagram, dan main game berarti telepon pintar mereka masih layak pakai. Hal yang perlu dicatat di sini adalah tidak seperti gawai-gawai2 tradisional atau analog yang tidak memiliki sistem operasi mumpuni atau malah tidak mempunyai sistem operasi sama sekali, piranti atau gawai digital seperti komputer jinjing dan telepon pintar tidak hanya memiliki masa pakai perangkat keras atau hardware seperti baterai, layar LCD, dan lainnya. Melainkan juga memiliki masa pakai perangkat lunak yang terpasang di dalamnya, sistem operasi termasuk kedalam perangkat lunak. Jika sistem operasi tidak lagi mendapat pembaharuan keamanan, maka perangkat lunak tersebut sudah usang dan tidak layak pakai, akibatnya piranti tempat sistem operasi tersebut terpasang secara otomatis juga akan menjadi usang dan tidak layak pakai, terlepas dari apakah perangkat keras telepon pintar masih layak pakai atau tidak kecuali kita mengganti sistem operasi yang ada dengan sistem operasi alternatif atau memasang sistem operasi yang lebih baru secara manual, sesuatu yang sulit dilakukan di telepon pintar berbasis Android. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa gawai digital dan perangkat lunak seperti sistem operasi di dalamnya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin Anda merakit PC tanpa memasang sistem operasi atau membeli komputer jinjing tanpa sistem operasi yang terpasang di dalamnya, pasti kalian harus memasang sistem operasi secara manual terlebih dahulu sebelum bisa digunakan.
Keusangan yang disengaja
OKE-OKE, saya tidak mempermasalahkan fakta jika telepon pintar saya sudah tidak mendapat pembaharuan keamanan lagi karena faktor usia perangkat keras seperti CPU dan RAM yang mungkin memang sudah uzur. Namun, pada kenyataannya produsen telepon pintar seperti Samsung, OPPO, Xiaomi, Nokia, bahkan Google telah mengatur berapa lama dan kapan pembaharuan perangkat lunak diberikan. Nokia misalnya, memberikan jaminan tiga tahun pembaharuan perangkat lunak. Google juga memberikan jaminan pembaharuan perangkat lunak selama tiga tahun. Perlu dicatat bahwa jaminan pembaharuan sistem operasi dihitung sejak telepon pintar itu dirilis perdana. Saat waktu yang ditentukan sudah tenggat, maka produsen telepon pintar secara tidak tersirat telah memvonis mati telepon pintar. Ini tidak hanya ada pada telepon pintar tetapi juga semua gawai digital seperti TV pintar, PC, atau komputer jinjing alias laptop. Khusus PC atau komputer jinjing ini memiliki nasib yang tidak terlalu mengenaskan. Saat Microsoft memvonis mati Windows 10 pada 2025 mendatang, pengguna laptop dengan Windows 10 masih mempunyai pilihan untuk memasang sistem operasi alternatif seperti Linux. Begitu juga laptop MacBook dan iMac buatan Apple. Dengan kata lain jika telepon pintar divonis mati tanpa kesempatan mengajukan banding, komputer meja dan laptop masih memiliki kesempatan untuk mengajukan banding.
Kondisi ini yang disebut sebagai keusangan yang disengaja atau planned obsolescence. Mengutip Wikipedia, planned obsolescence adalah kebijakan dalam mendesain atau merancang sebuah produk dengan membuat jangka waktu pemakaian terbatas secara sengaja.3 Keusangan disengaja ini memiliki motif yang murni ekonomi. Dengan kebijakan yang membuat sebuah produk tidak tahan lama, penjualan jangka panjang diyakini akan meningkat, hal ini karena keusangan disengaja membuat konsumen membeli produk yang sama dalam jangka pendek.
Namun hal ini memiliki kekurangan. Dengan membuat masa pakai suatu produk pendek, konsekuensinya adalah konsumen kemungkinan besar mengganti produk yang mereka punya dengan produk baru, naasnya konsumen belum tentu akan membeli produk dengan merk yang sama. Apalagi jika pasar suatu produk sangat kompetitif seperti misalnya pasar telepon pintar. Oleh karena itu strategi ini akan lebih berhasil jika produsen memiliki beberapa perusahaan dengan produk yang sama. Sebenarnya ada sih cara lain untuk menjaga tingkat penjualan suatu produk tanpa harus menggunakan cara culas seperti ini, yaitu dengan meningkatkan loyalitas konsumen terhadap suatu merk, strategi yang telah lama dipakai oleh Apple. Tapi masalah yang muncul kemudian adalah meningkatkan loyalitas suatu jenama bukanlah perkara mudah. Saking susahnya, upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan loyalitas suatu jenama terkadang malam ditempuh dengan membuat ekosistem tertutup atau biasa disebut vendor lock-in alih-alih dengan menciptakan produk yang inovatif. Ini pada akhirnyamalah bisa menyeret produsen ke dalam regulasi anti monopoli. Bahkan Apple sendiri yang sukses dengan strategi loyalitas jenawa, mulai terseok-seok untuk menjaga tingkat penjualan iPhone, mengingat penjualan lini produk Apple yang lain seperti iMac atau MacBook tidak lagi bisa diandalkan.
Lalu apakah harus ganti telepon pintar yang sudah tidak mendapat pembaharuan keamanan walaupun kondisinya masih bagus dan nyaman dipakai? Jawabannya sayangnya iya. Kecuali kalian hanya menggunakan telepon pintar untuk sekedar telepon dan SMS tanpa berselancar di Instagram, membuka WhatsApp, atau bertransaksi melalui aplikasi online banking.